bacasaja.info Ketika ada pemanasan global picu pencairan lapisan gletser lebih cepat. Dampaknya bisa jadi bencana besar bagi keberlangsungan hidup manusia.
Skenario kiamat iklim di masa mendatang digambarkan secara dramatis dalam film The Day After Tomorrow yang dirilis 2004 silam.
Melelehnya lapisan es abadi di Kutub Utara dan Kutub Selatan Bumi yang dipicu memanasnya arus Gulf Stream dan arus Atlantik Utara, dalam film itu memicu tsunami yang menenggelamkan New York City dan kawasan sekitarnya, yang sekaligus menewaskan jutaan orang.
Kedengaran berlebihan? Tapi realita menunjukkan, menciutnya lapisan gletser di Alaska pada 2015 memicu longsor tanah dalam skala raksasa dan tsunami dahsyat setinggi 200 meter saat menghantam pantai.
Tidak banyak yang peduli dan nyaris tidak ada pemberitaan, karena bencana terjadi di kawasan terpencil yang tidak dihuni manusia.
Artinya, jika bencana pecahnya triliunan ton lapisan es akibat pemanasan global tidak berdampak langsung pada manusia, nyaris tidak ada yang peduli.
Jika yang tenggelam hanya beberapa pulau kecil di samudra Pasifik, itu tidak dianggap masalah global.
Perlu diingat, jika lapisan es abadi atau gletser di bumi yang menutupi 10 persen lapisan tanah di Bumi mencair dengan sangat cepat, hal itu akan memicu efek berantai, seperti yang dilansir DW Indonesia pada Rabu (24/3/2021).
Untuk menegaskan konteks mencairnya lapisan es abadi ini, para ilmuwan mencatat laju menciutnya lapisan es abadi meningkat hampir 60 persen sejak 1990-an.
Jika ditegaskan dengan angka, itu mencakup 28 triliun ton lapisan es abadi mencair dari 1994 hingga 2017.
Lapisan es di Antartika yang paling besar sedunia serta lapisan gletser di pegunungan tinggi dunia, sudah kehilangan separuh dari volume semula.
Bayangkan, jika seluruh pencairan es abadi berupa air tawar itu masuk ke laut dan menurunkan kadar garam air laut, dampak apa yang akan terjadi?
Keseimbangan Gulf Stream yang merupakan arus laut hangat di Atlantik Utara yang merupakan salah satu arus paling penting di dunia akan terganggu.
Ini akan memicu fenomena iklim ekstrim, berupa badai tropis dan hurikan di kawasan Tekuk Meksiko.
Selain itu, memicu lebih sering banjir dan kekeringian di kedua sisi samudra Atlantik. Ratusan juta orang akan terdampak.
Akan muncul efek domino yang lebih dahsyat. Suhu di Kutub Utara akan naik 2 kali lipat lebih cepat.
Sistem “air conditioner” raksasa yang mengatur suhu planet Bumi akan macet.
Suhu panas bukan hanya mencairkan lapisan es abadi di kutub, tapi juga melemahkan arus udara di atmosfir yang disebut “jet stream”. Gampangnya, cuaca buruk akan makin kerap melanda.
Fenomena polar vortex yang baru-baru ini membuat sebagian Eropa dan Amerika Utara membeku memiliki korelasi dengan melemahnya jet stream di kawasan kutub.
Inilah skenario yang memicu zaman es secara tiba tiba dalam film The Day After Tomorrow.
Cuaca dingin mungkin disambut baik, di tengah pemanasan global. Tapi jangan lupa, kawasan kutub juga memanas.
Artinya, lapisan es yang dulunya berfungsi memantulkan energi panas matahari dari bumi, tidak lagi berfungsi sepenuhnya.
Ini memicu lautan menyerap panas tersebut. Tidak mengherankan, jika pada musim dingin 2018, lapisan es di laut Bering di Alaska mencapai level paling rendah dalam 5000 tahun terakhir.
Habitat ikan, burung laut, anjing laut, pinguin dan berung kutub juga musnah seiring mencairnya lapisan es abadi.
Juga mencairnya lapisan permafrost dengan cepat di kawasan Siberia akan memicu bencana iklim selanjutnya.
Fenomena yang ditandai dengan munculnya kawah-kawah misterius di kawasan tundra Rusia itu, merupakan indikasi terlepasnya gas rumah kaca dalam jumlah besar.
Seperti diketahui, kawasan permafrost merupakan penyimpan karbon terbesar di dunia.
Sekarang, kawasan tundra Rusia justru melepas emisi gas rumah kaca seperti methana dan karbondioksida yang dulu terperangkap di suhu minus abadi.
Sejumlah ilmuwan meramalkan, hingga akhir abad ini, sekitar 40 persen kawasan permafrost akan lenyap. Kemana? Ke atmosfir tentunya. Yang kemudian memicu lagi pemanasan global seperti mesin turbo.
Skenario muka air laut naik puluhan meter
Jika semua lapisan es di kutub selatan yang merupakan cadangan terbesar dunia mencair, muka air lautan di seluruh dunia akan naik hingga 60 meter.
Ini adalah kiamat bagi kota-kota di pinggir pantai seperti New York, Mumbai, London dan juga Jakarta. Semua akan tenggelam ke dasar laut.
Namun, itu baru skenario Armageddon. Jangan panik! Fenomena itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini.
Mitigasi yang paling realistis saat ini adalah, pemanasan global akan memicu kenaikan muka air laut setinggi 2 meter pada akhir abad ini.
Artinya, hanya sekitar 350 juta sampai 500 juta orang yang bermukim di kawasan pantai, yang akan terkena dampaknya.
Juga efek lain dari mencairnya gletser di pegunungan, sekitar 700 juta orang lainnya di kawasan pegunungan, “hanya” akan mengalami kelangkaan air bersih parah, seperti yang sudah dialami Chile atau India saat ini.
Atau total sekitar 2 milyar manusia akan menghadapi bencana kekurangan air sekaligus kelaparan akibat kekeringan.
Apa yang masih bisa dilakukan?
Apakah kita masih bisa melakukan upaya mengerem skenario bencana itu? Paling tidak umat manusia harus mulai menghentikan pencemaran atmosfir dengan gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.
Tentu saja proses pembalikan ini tidak bisa dijalankan dan terihat hasilnya dalam sehari semalam.
Jika diasumsikan semua penduduk dunia menghentikan penggunaan bahan bakar fosil mulai hari ini, sekitar 30 persen dari seluruh lapisan gletser yang tersisa hari ini, tetap saja akan mencair.
Target PBB adalah, jika dunia hingga 2050 bisa melakukan dekarbonisasi, maka sekitar 30 persen massa gletser bisa diselamatkan hingg akhir abad ini.
Masa depan umat manusia terkait perubahan iklim sulit diramalkan. Semuanya tetap merupakan skenario dan pemodelan.
Tapi, jika pelumeran es abadi dan gletser bisa diperlambat, skenario bencana seperti dalam film, tidak akan terlihat menggelikan lagi buat generasi mendatang.
The post Kenapa Lapisan Es Abadi di Bumi Mencair Makin Cepat, Ada Apa Ini!! appeared first on BACA SAJA ONLINE.
0 Comments