Sepekan terakhir dua kasus pencabulan terjadi di wilayah hukum Polresta Mataram. Modusnya, mengaku sebagai orang pintar yang dapat menyembuhkan ragam persoalan.
Para pelaku pencabulan memiliki beribu cara untuk mendapatkan mangsa. Salah satunya menyamar menjadi dukun.
”Saya hanya dimintai tolong sama bapaknya untuk mengobatinya supaya tidak melihat makhluk gaib,” kata tersangka kasus pencabulan berinisial B saat diwawancara.
Pelaku dan orang tua korban cukup dekat. Dia kerap bertamu ke rumahnya, Pejeruk, Ampenan, Mataaram.
Hal itu dimanfaatkan B untuk melancarkan aksinya. ”Bapaknya (korban) bercerita ke saya kalau anaknya sering diganggu dan saya dimintai tolong mengobati,” ungkapnya seperti dikutip Lombok Pos, Senin (7/9).
Saat ke rumahnya, pelaku kerap melihat korban. Dia pun kepincut dengan anak temannya yang baru beranjak remaja.
Pria berusi 43 tahun itu sebelumnya tidak pernah melakukan pengobatan, tiba-tiba mengaku sebagai dukun. Karena, hubungan dekat orang tuanya pun percaya.
Pelaku pun meminta menjalankan ritual. Menyiapkan bahan-bahannya. ”Saya memintanya untuk menyiapkan tebu sirih, dan kencur,” jelasnya.
Ritual itu dilakukan di dalam kamar. Tanpa ada orang yang melihat. Namun modusnya terbongkar tanpa sengaja saat kakak korban tiba-tiba membuka pintu. ”Saat itu saya hanya buka setengah bajunya, belum saya apa-apakan,” akunya.
Kakak korban teriak saat membuka pintu kamar. Teriakan itu mengundang massa. Pelaku nyaris dihakimi massa. ”Dari situ saya dibilang melakukan pencabulan. Padahal saya hanya mengobati,” kelitnya.
”Saya menyesal,” ungkapnya.
Modus serupa juga dilakukan JMR alias Jon yang memangsa gadis SMA. Modusnya juga menyamar sebagai dukun.
”Saya sering ngojek sama bapaknya (korban). Sering juga saya ke rumahnya,” kata Jon.
Jon sudah lama menduda. Ia pun jatu suka kepada korban. ”Ya, saya tertarik dengan anak itu,” akunya.
Sempat, bapak korban bercerita dengannya. Kondisi ekonominya tidak baik. “Bapaknya mengeluh kalau dia butuh uang,” ujarnya.
Nah, sejak bapaknya kepepet kebutuhan ekonomi, Jon yang profesinya hanya sebagai kuli bangunan, tiba-tiba mengaku dirinya sebagai dukun. Dia mengaku bisa menggandakan uang hingga Rp 500 juta. ”Sebenarnya saya tidak bisa menggandakan uang,” bebernya.
Setelah itu, Jon merayu orang tua korban. Dia mengatakan bisa membuat anaknya lebih cantik dan auranya bisa memikat lelaki. ”Saya bilang ke bapaknya kalau anaknya cantik bisa mendatangkan rejeki,” ungkap Jon.
Bapak korban pun percaya rayuan Jon. Dia meminta melakukan ritual. ”Saya minta siapkan air putih dana kunyit,” kata dia.
Sejak ritual dilakukan, Jon berkesempatan melancarkan nafsunya. ”Saya hanya pegang saja. Belum sempat saya apa-apakan,” ungkapnya.
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Kota Mataram (LPA) Mataram Joko Jumadi mengatakan, masa pandemi ini membuat ekonomi masyarakat makin sulit. Psikologisnya terganggu. ”Jadi, orang gampang percaya,” ujarnya.
Meskipun rayuan dan tawaran itu tidak masuk akal. Karena stres dan psikisnya terganggu sehingga tawaran yang tidak masuk akal itu diterima. ”Apalagi, masyarakat sekarang membutuhkan uang instan dan banyak,” kata Joko.
Persoalan seperti itu mesti diantisipasi semua masyarakat. Jangan sampai tertipu dengan dukun cabul yang ingin melancarkan aksinya. ”Kita harus lebih waspada,” imbaunya.
Joko mengatakan, kasus pencabulan meninggi di masa pandemi. Peningkatannya sekitar 60 persen.
Polda NTB mencatat sejak Januari hingga Juli ada sekitar 38 kasus yang ditangani. Berkaca pada periode yang sama di tahun 2019, Polda NTB hanya menangani sekitar 22 kasus pencabulan. ”Ini yang coba kita tekan,” ujarnya.
Menurutnya, bukan hanya orang dewasa saja yang melakukan itu. Ada juga kasus pencabulan yang melakukannya anak dibawah umur. ”Pelakunya anak berusia 13 tahun. korbannya juga berusia 13 tahun,” jelasnya.
Kasus seperti itu baru terjadi di masa pandemi. Biasanya pelaku pencabulan itu dilakukan oleh orang dewasa. ”Fenomena ini harus disikapi masyarakat. Jangan sampai anaknya menjadi korban maupun pelaku,” ucapnya.
Joko menjelaskan, kebutuhan smartphone terhadap anak di masa pandemi cukup tinggi. Apalagi, saat ini anak belajar melalui daring. ”Sehingga, perlu pengawasan yang serius dari masing-masing orang tua,” tutupnya.
https://ift.tt/2R3A1c0
0 Comments